December 12, 2023

Pesantren Gebang Tinatar: Cikal Bakal Ponpes di Tanah Jawa

Pesantren Gebang Tinatar

Pesantren dikenal masyarakat sebagai tempat menimba ilmu, baik itu ilmu umum dan khususnya ilmu agama. Pesantren Gebang Tinatar atau lebih dikenal dengan Pesantren Tegalsari merupakan cikal bakal sistem ponpes yang ada di Pulau Jawa. Menurut seorang peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen, menyebutkan bahwa sebelum adanya Pesantren Tegalsari belum ditemukan bukti yang menunjukkan adanya sistem pesantren di Indonesia. 

Sistem pesantren menurut Martin ini seperti memiliki kurikulum, masjid serta pondokan, dan memiliki Kyai yang mengasuh santri. Jadi, hal itu membuktikan bahwa Pesantren Tegalsari adalah pesantren pertama yang menerapkan sistem tersebut.

Sejarah Pesantren

Penasihat masjid sekaligus generasi kedelapan, Kunto Pramono (63), menjelaskan bahwa pada tahun 1669, Kyai Ageng Muhammad Besari babat alas di wilayah timur sungai Jetis. Pada tahun itu juga, beliau mendirikan masjid pertama di Desa Coper, Jetis, Ponorogo. Lambat laun, masjid itu berkembang menjadi pesantren memiliki banyak santri.

Kunto menambahkan karena semakin banyak jumlah santri pesantren, akhirnya tahun 1724 beliau mendirikan masjid kedua. Hingga saat ini masjid tersebut menjadi jujugan wisata religi.

Buku De Priesterschool te Tegalsari

Menurut F. Fokkens dalam ‘De Priesterschool te Tegalsari’ yang terbit tahun 1877, selama di pondok santri tidak dimintai biaya sedikitpun. Semua keperluan dicukupi dari bekal dari keluarga dan membantu Kyai bekerja di sawah. Para santri kebanyakan berasal dari luar daerah Ponorogo, seperti Banten, Priangan, Cirebon, Karawang, Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Magelang, dan Madiun. 

Baca Juga: Contoh Laporan Keuangan Sederhana: Panduan untuk Pemula

Pada saat diasuh oleh Kyai Kasan Besari, menurut Van Der Chijs, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari telah memiliki sekitar 3000 an santri. Saking banyaknya jumlah santri, satu desa menjadi pondokan. Bahkan pondokan juga didirikan di desa-desa sekitar. Seperti desa Nglawu, Bantengan, Malo, Joresan dan desa lainnya. Oleh karena banyaknya orang yang menetap di Tegalsari, maka didirikanlah sebuah masjid yang dikelilingi pondokankecil untuk tempat tinggal para santri. 

Lokasi dan Suasana Pesantren

Saat Fokkens (penulis buku ‘De Priesterschool te Tegalsari’) mengunjungi Tegalsari, desa tersebut sudah tampak ramai dan maju. Pohon-pohon rindang berjajar rapi di pinggir jalan desa yang dekat dengan pasar pay envelope itu. Sebuah pasar yang sudah ramai dikunjungi orang saat Fokkens berkunjung. Rumah-rumah penduduk terlihat besar dengan halamannya yang luas. 

Saat memasuki pesantren, Fokkens mendapati sebuah rumah besar model pendopo dengan temboknya yang tebal. Rumah itu adalah tempat tinggal sang Kyai. Masjid dibangun terpisah dari rumah Kyai. Arsitektur masjid pada saat itu sudah terlihat mewah & besar. Beratap dua sirap dan memiliki satu serambi. Lantainya setinggi empat kaki dan diberi tangga. 

Di belakang masjid terdapat sebuah makam keluarga. Di sekeliling masjid terdapat pondokan. Lantai pondokan terbuat dari bambu dan dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah. Setiap pondokan memiliki teras yang bisa dipakai untuk istirahat. Di masing-masing kamar terdapat rak dari bambu sebagai tempat menyimpan buku dan kertas. Para santri memiliki lumbung padi sebagai tempat menampung kebutuhan makan mereka selama di pondok. Satu lumbung bisa digunakan empat hingga lima orang santri. Mereka menjaganya secara bergantian.

Kitab di Pesantren Gebang Tinatar

Sejak awal didirikannya masjid dan pondokan, Bahasa Arab sudah mulai diajarkan di Pesantren Gebang Tinatar. Dan dalam perkembangannya, kitab-kitab agama Islam juga banyak dikaji di pesantren ini. Hingga saat ini masih ditemukan kitab peninggalan Pesantren Gebang Tinatar dari masa awal pesantren. Sebut saja misalnya Al-Munhati, Jauharuttauhid, Jauharussamin Liummil Barohain dan kitab Tajwid. Tidak diketahui siapa penulis beberapa kitab tersebut. Akan tetapi, jika dilihat dari tulisannya, diduga penulis kitab tersebut adalah satu orang dan pernah belajar di Tanah suci Mekah. 

Kitab tersebut menggunakan keterangan berbahasa arab dan jika dilihat dari kertas yang digunakan juga tidak berasal dari sekitar Tegalsari, melainkan kertas yang identik dengan kertas yang ada di daerah Arab pada masa lalu. Tidak diketahui pula kapan kitab itu ditulis, hanya pada halaman pertama kitab Jauharussamin Liummil Barohain tertulis bulan Jumadil Awal tahun Alif. Selain itu, ditemukan juga Tiga jilid Kitab Fiqh Syarh Fathul Mu’in karangan Zainuddin Al- Malibari. Penulisan kitab Syarh tersebut dilakukan oleh beberapa orang dari beberapa generasi. Penulisnya adalah Muhammad Jalalain, Hasan Ibrahim, Hasan Yahya, Hasan Ilyas, dan Muhammad Besari.

==================================================================================

Untuk mencoba aplikasi epesantren.co.id secara GRATIS di demo.epesantren.co.id

Atau

Hubungi admin kami di


+62 857-0130-3000

Share this post:
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Temukan lebih banyak artikel